MENELISIK ASAL USUL "MOMPOLIBA"


Dirangkum dari beberapa sumber cerita melalui catatan : Irsan Labatjo / SWARA LUKTIM.
Mompoliba merupakan salah satu tradisi turun temurun di kalangan masyarakat suku saluan setelah usai melangsungkan proses pernikahan.
Mompoliba itu sendiri berasal dari bahasa Saluan yang artinya "Menaikkan" atau lebih kentalnya dikenal dengan istilah pengantaran.
Meski tradisi ini bukan menjadi satu hal yang wajib dilaksanakan, namun disebagian kecil masyarakat saluan  masih ada yang terus mempertahankannya. 
Itu dimaksudkan, agar hubungan  kedua belah pihak yang menyatu dalam proses pernikahan, dapat terjalin dengan erat, sehingga ikatan keluarga menjadi kuat dan kokoh.
Bila ditelusuri keberadaan tradisi Mompoliba ini, ada sebagian orang yang mengatakan kalau tradisi ini baru diperkenalkan pada abad sekarang yang diperkirikan keberadaannya sejak tahun 1960 hingga saat ini. 
Namun disisi lain, tradisi Mompoliba itu sendiri sudah dikenal sejak lama saat masih berada di jaman Batamundoan. 
Konon ceritanya, tradisi itu bermula dari pertemuan  antara putri Saluan yang berketurunan bangsawan dengan seorang pria bangsawan bugis pada abad pertengahan dimasa Batamundoan Banggai. 
Kala itu, Status Batamundoan Banggai yang meliputi wilayah penduduk Saluan, penduduk Balantak dan penduduk Banggai itu sendiri masih termasuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Bugis. 
Sehingganya, disetiap waktu pembayaran upeti (pajak) oleh Batamundoan Banggai, utusan kerajaan bugis datang menjemputnya.
Melalui perantaraan itu, salah seorang petinggi kerajaan Bugis yang datang ke tanah Saluan menjadi terpana dengan kecantikan seorang gadis yang berdarah Saluan. Tanpa berpikir panjang, dirinya pun jatuh cinta dan ingin mempersuntingnya. 
Dengan jalinan asmara yang tak dapat dipisahkan lagi, Maka diaturlah proses peminangan yang dikenal dengan istilah Mombaluk, hingga disepakatilah penentuan waktu pernikahan.
Sebelum pernikahan dilangsungkan, mempelai wanita itu terlebih dahulu disucikan selama 7 hari didalam kamar yang menurut masyarakat saluan dikenal dengan istilah Momposoop atau Mappacing bagi masyarakat Bugis. 
Setelah tahapan pernikahan itu usai dilaksanakan, keluarga dari mempelai pria yang saat itu tidak sempat menyaksikan secara langsung proses pernikahan kedua anak mereka, meminta kesediaan mempelai wanita untuk dibawa kekumpulan keluarga mempelai laki-laki ditanah bugis dengan maksud agar mereka bisa saling mengenal sesama keluarganya. Menurut istilah dari masyarakat Bugis, tradisi ini dinamakan Marolla atau penjemputan, yang ditradisi BABASAL terlebih suku Saluan  dikenal dengan Istilah Molabot.
Dari sinilah awal mula dikenalinya tradisi Mompoliba dikalangan masyarakat Saluan kala itu.
Karena selama itu juga, masyarakat Saluan baru mengenal beberapa tradisi pernikahan seperti halnya tradisi Mombaluk, Momposoop dan Molabot. Karena tradisi Mombaluk dan Momposoop sudah menjadi ketentuan khusus yang telah disyariatkan oleh Agama dan tidak dapat dihapuskan. Sementara untuk tradisi Molabot, hanya dilakukan oleh petinggi Batamundoan Banggai saat dipesta penjemputan telur maleo atau Molabot Tumbe yang pelaksanaannya sudah berlaku sejak jaman Batamundoan Banggai dari Angkatan pertama hingga saat ini.
Maka tak heran kalau tradisi Mompoliba belakangan baru dikenal oleh masyarakat Saluan karena pelaksanaannya baru dilakukan pada abad pertengahan dimasa Batamundoan.
Melihat cara ini yang dinilai paling tepat untuk dijadikan sebagai sarana dalam mempersatukan rumpun keluarga yang berbeda, maka para pendahulu waktu itu eksis memperkenalkan dilingkungan keluarga maupun dikalangan masyarakat sekitar. Meski dibeberapa dekade tradisi Mompoliba itu sempat meredup.
Namun kini tradisi yang  ditinggalkan para pendahulu kembali dipopulerkan oleh sebagian kecil masyarakat Saluan yang tersebar dibeberapa tempat.
Dengan harapan, agar selain untuk membudayakan tradisi itu sendiri, melalui proses Mompoliba juga, akan mengeratkan hubungan kekeluargaan menjadi kokoh dan terjaga hingga akhir hayat.**

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kades dan Warga Gotong Royong Bangun Pintu Gerbang Mesjid Nurul Huda Desa Lokotoy

Habbly Louto, Dari Kampung Berhasil Merumput Hingga Kancah Nasional

Pemdes Boitan,BPD dan Masyarakat Gelar Baksos Persiapan Lomba 9 K